BOGOR – Sejumlah orangtua murid di sebuah sekolah dasar di Kota Batu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, mengungkapkan kekecewaannya terhadap harga buku modul yang dianggap terlalu mahal. Mereka menduga bahwa pihak sekolah dan komite sekolah terlibat dalam praktik jual-beli ini. Menariknya, Kepala Sekolah dan Operator ternyata tidak mengetahui nominal harga per modul yang dijual.
Salah seorang orangtua murid yang enggan disebutkan namanya memberi tahu wartawan, bahwa ia membeli modul seharga Rp. 16.000 per buku, yang dibeli di lingkungan sekolah dari wali kelas. “Saya membeli buku modul di lingkungan sekolah kepada wali kelas anak saya seharga Rp. 16.000,” ungkapnya.
Kekhawatiran Orang Tua Terkait Harga Buku Modul
Kekhawatiran orangtua ini memang beralasan. Saat tim media mengonfirmasi ke pihak sekolah, Kepala Sekolah setempat, yang baru menjabat selama tiga bulan, menjelaskan bahwa modul tersebut dirancang oleh para pengajar untuk inovasi pengajaran, dan pembuatan master modul sudah dibiayai oleh dana BOS. Namun, ia mengklaim tidak mengetahui adanya praktik jual-beli ini di sekolahnya.
Sementara itu, Operator Sekolah juga mengutarakan kebingungannya. “Saya baru tahu bahwa modul tersebut dijual dengan harga segitu. Secara logika, jika fotokopi selembar seharga Rp. 200, tidak mungkin mencapai harga semahal itu. Saya khawatir ada oknum yang bermain dalam hal ini,” ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelemahan dalam pengawasan di sekolah tersebut.
Pembelaan Pihak Sekolah dan Kebijakan Harga
Untuk lebih jelasnya, pihak sekolah mengadakan pertemuan dengan semua wali kelas dan ketua komite untuk meminta keterangan. Dalam pertemuan tersebut, salah satu wali kelas menegaskan bahwa pernyataan orangtua mengenai harga modul tidak sepenuhnya benar. “Kami hanya menjual buku modul seharga Rp. 10.000. Tidak benar jika sampai Rp. 16.000, dan ini sudah menjadi kesepakatan antara sekolah, orangtua, dan komite,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa mereka memberikan subsidi silang untuk anak-anak yatim dan kurang mampu, sehingga buku tersebut bisa dibagikan secara gratis. “Sekali lagi saya tegaskan, tidak ada pemaksaan untuk membeli modul tersebut. Ini hanya bagi yang mampu dan mau,” tambahnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya dari pihak sekolah untuk menjaga transparansi dan keadilan dalam penjualan buku modul.
Namun, ironi tetap ada. Faktanya, Kepala Sekolah ternyata tidak mengetahui adanya praktik jual-beli modul tersebut, yang menimbulkan banyak pertanyaan tentang efektivitas pengawasan di sekolah. Seharusnya, sekolah berfungsi untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan menjadi ajang bisnis untuk meraup keuntungan pribadi. Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, termasuk Permendiknas No. 2 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, jelas terdapat larangan untuk menjual buku kepada murid.
Sayangnya, masih ada oknum-oknum yang nekat memperdagangkan buku sebagai cara untuk menyempurnakan program pembelajaran. Mereka sering kali beralasan bahwa modul tersebut sebagai sumber referensi. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam mengawasi dan memberi masukan kepada pihak sekolah agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Di akhir ulasan ini, penting untuk diingat bahwa pendidikan adalah hak semua anak. Transparansi dalam pengelolaan biaya pendidikan akan berkontribusi pada terciptanya lingkungan belajar yang lebih baik. Kerjasama antara orangtua, sekolah, dan komite sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil dan berkualitas.