JAKARTA – Gangguan layanan digital dari sebuah bank di Indonesia menjelang Lebaran 2025 menjadi isu hangat dan menuai banyak kritik dari publik, khususnya nasabah yang merasa dirugikan. Sejak malam takbiran pada 30 Maret 2025, layanan seperti mobile banking, transfer, dan akses ATM mengalami kendala yang cukup serius.
Pada momen menjelang Lebaran, banyak orang melakukan berbagai transaksi keuangan penting, sehingga masalah ini sangat mengganggu. Hal ini satu sisi menyoroti seberapa pentingnya layanan digital yang seharusnya dapat diandalkan di saat-saat krusial.
Penghargaan vs Realita Layanan Digital
Menariknya, hal ini terjadi di saat bank tersebut baru saja menerima penghargaan Top Digital Corporate Brand Award 2025 dalam kategori Perbankan dan BUMD. Ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari pengguna media sosial yang meluapkan kekecewaannya.
Di platform media sosial, warganet berbagai kalangan menyampaikan keluhan mereka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pengguna, “ATM rusak, mobile banking diam, tapi katanya digital? Digital dari mana?” Selain itu, banyak suara lain yang mengaitkan penghargaan tersebut dengan tidak adanya inovasi sebenarnya yang menguntungkan nasabah.
Respon dari Para Ahli dan Masyarakat
Menanggapi kekacauan tersebut, seorang Direktur Eksekutif dari lembaga riset keuangan mengungkapkan pandangannya bahwa para direksi dan komisaris seharusnya bertanggung jawab dan melakukan evaluasi terhadap sistem yang ada. “Seminggu tidak berfungsi, ini sangat merugikan nasabah dan merusak citra bank di mata publik,” katanya. Ini menunjukkan bahwa lebih dari sekadar pelayanan yang baik, ada tanggung jawab moral yang harus diambil oleh manajemen.
Kondisi ini memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap layanan digital bank tersebut yang sedang berada di titik terendah. Nasabah mulai mempertanyakan bagaimana sistem yang seharusnya canggih justru gagal dalam memberikan layanan dasar. Permintaan untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem dan manajemen IT semakin kuat dalam situasi yang krusial ini.
Bagaimana sebuah institusi keuangan dapat mengklaim telah mencapai kesuksesan digital jika pada kenyataannya layanan dasarnya pun tidak memadai? Ini menjadi refleksi penting bahwa meskipun suatu bank memperoleh berbagai penghargaan, pelayanan nyata kepada nasabah tetaplah yang utama.
Jika isu ini tidak segera ditangani, potensi kerugian tidak hanya bagi nasabah tetapi juga bagi citra perusahaan akan semakin meningkat. Kepercayaan publik sangatlah berharga, dan perbaikan sistem adalah langkah yang wajib dilakukan agar bisa kembali mendapatkan kepercayaan tersebut. Kekecewaan ini berpotensi menjadi boomerang bagi bank yang bersangkutan jika tidak ada tindakan nyata yang diambil.