KOTA BOGOR, – Maraknya praktik jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) di kalangan Sekolah masih mewarnai dunia Pendidikan di Kota Bogor. Seperti yang terjadi di Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Yaspi Sirojul Athfal Kota Bogor diduga melakukan praktik jual beli LKS, Senin (26/09/22).
Dugaan tersebut bukan tanpa dasar, saat ditemui dikediaman orang tua/ wali murid yang enggan disebutkan namanya, memaparkan bahwa anaknya yang sekolah di MI Yaspi Sirojul Athfal disuruh membeli buku LKS dan setiap ulangan semester harus membayar sejumlah uang.
Jenis dan Biaya LKS di Sekolah
Menurut informasi dari orang tua murid, harga LKS untuk tiap kelas beragam. Sebagai contoh, untuk kelas 4 harganya mencapai 82 ribu rupiah, sementara untuk kelas 6 sekitar 120 ribu rupiah. Mereka diberikan waktu untuk mencicil pembayaran hingga tiga bulan. Sebagai tambahan, untuk setiap ulangan semester, mereka diminta membayar 20 ribu rupiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan orang tua mengenai keabsahan praktik ini dan dampaknya terhadap pendidikan anak-anak mereka.
Informasi ini menunjukkan adanya tekanan finansial yang mungkin tidak seharusnya dialami oleh murid. Dengan semakin meningkatnya biaya pendidikan, banyak orang tua yang berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan akademis anak-anaknya. Praktik seperti ini juga menciptakan kesenjangan antara siswa yang mampu dan yang tidak mampu, yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Regulasi yang Mengatur Praktik Jual Beli LKS
Penting untuk dicatat bahwa sekolah, baik negeri maupun swasta, dilarang melakukan praktik jual beli LKS. Hal ini diatur dalam Pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal ini menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Regulasi ini bertujuan untuk melindungi siswa dan orang tua dari praktik yang tidak etis dan untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tidak terhambat oleh isu keuangan. Namun, meskipun ada regulasi yang jelas, masih banyak praktik yang melanggar ketentuan ini terjadi di lapangan. Ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga pendidikan.
Komite Sekolah juga dilarang untuk menjual buku ataupun seragam sekolah, sebagaimana diatur dalam Pasal 12a Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2020 tentang Komite Sekolah. Dalam pasal tersebut, ditegaskan bahwa baik perorangan maupun kolektif tidak diperbolehkan untuk melakukan praktik jual beli yang merugikan siswa dan orang tua.
Dari semua informasi ini, muncul sebuah pertanyaan besar mengenai tata kelola pendidikan di Indonesia. Mengapa masih ada praktik-praktik yang melanggar hukum ini? Apakah para pihak yang berwenang sudah melakukan langkah-langkah yang cukup efektif untuk menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran yang terjadi?
Dengan adanya laporan dan informasi yang beredar, penting bagi masyarakat untuk bersuara dan menuntut transparansi dalam pengelolaan pendidikan. Setiap elemen, mulai dari orang tua, guru, hingga pemerintah, memiliki peran penting untuk memastikan bahwa pendidikan yang diterima anak-anak kita adalah yang terbaik dan adil.
Kita semua berharap agar isu ini dapat diselesaikan dengan baik dan pihak terkait dapat bertindak secara profesional dan bertanggung jawab. Ketika pendidikan menjadi beban bagi orang tua, dampaknya bisa jauh lebih besar daripada sekadar angka di anggaran sekolah. Mari kita kawal bersama agar praktik yang tidak etis ini segera dihentikan.