www.nalarberita.id – Isu tentang penggunaan bahan konstruksi yang tidak sesuai spesifikasi dalam proyek pemerintah kerap kali menjadi sorotan. Salah satu contoh yang mencuat adalah rehabilitasi gedung PUSDAI (Pusat Dakwah Islam) di Kabupaten Bogor, yang dibiayai melalui APBD dengan anggaran mencapai Rp 12.902.908.000,-. Proyek ini menimbulkan kontroversi setelah ditemukan penggunaan baja ringan yang tidak berlogo SNI (Standar Nasional Indonesia).
Temuan ini muncul ketika awak media melakukan investigasi di lokasi pada Senin (25/10). Penggunaan material yang tidak memenuhi standar ini menimbulkan pertanyaan tentang kualitas dan keamanan gedung yang sedang direhab tersebut. Apakah penggunaan baja ringan tanpa SNI berisiko bagi keselamatan bangunan?
Pemanfaatan Baja Ringan yang Tak Sesuai Standar
Penggunaan baja ringan dalam proyek konstruksi memang menawarkan keuntungan dari segi biaya dan bobot, namun standar kualitas tetap harus diperhatikan. Baja ringan yang dipergunakan dalam rehabilitasi gedung PUSDAI tidak memiliki sertifikasi SNI, yang seharusnya menjadi acuan bagi semua bahan konstruksi yang digunakan dalam proyek pemerintah. Konsultan pengawas, Edi, dalam penjelasannya mengklaim bahwa penggunaan baja tanpa logo SNI tidak menjadi masalah, beralasan bahwa atap yang digunakan sangat ringan.
Pernyataan ini sepertinya menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apakah semua standar dapat diabaikan hanya karena suatu material dianggap ringan? Penggunaan baja ringan tanpa SNI dapat berisiko pada daya tahan dan keselamatan bangunan di masa depan, mengingat bangunan merupakan aset publik yang harus bebas dari masalah struktural.
Kepentingan Keselamatan Pekerja
Pada saat yang sama, perhatian tidak hanya pada kualitas bahan, tetapi juga keselamatan pekerja sepertinya diabaikan. Di lokasi proyek, tampak bahwa tidak ada seorang pun pekerja yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai. Ini menjadi indikator serius bahwa standar keselamatan kerja tidak dilaksanakan dengan baik. Pihak penyedia jasa, PT. Ardico Artha Multimoda, yang bekerja sama dengan konsultan pengawas PT. Bina Mitra Wahana, harusnya lebih memastikan bahwa setiap tenaga kerja dilindungi selama proses konstruksi berlangsung.
Dengan masa pelaksanaan yang ditetapkan selama 105 hari, pengabaian keselamatan pekerja dapat mengakibatkan kecelakaan kerja yang fatal. Ini menunjukkan bahwa manajemen proyek tidak hanya bertanggung jawab pada aspek teknis, tetapi juga pada perlindungan tenaga kerja yang diharapkan dapat menjalankan tugas tanpa risiko kecelakaan yang membahayakan. Apakah kita akan membiarkan budaya kerja yang mengabaikan keselamatan terus berlanjut dalam proyek-proyek pemerintah?
Secara keseluruhan, temuan ini membuka diskusi tentang bagaimana proyek government harus dijalankan dengan transparan dan akuntabel. Standar kualitas dalam pilihan material dan keselamatan kerja adalah dua aspek yang tidak dapat dikompromikan. Keberanian konsultan pengawas untuk mempertahankan pendapatnya tanpa adanya referensi pada standar yang seharusnya, mengindikasikan adanya masalah yang lebih dalam dalam pengawasan proyek ini.
Proyek besar yang dibiayai oleh rakyat harus menjadi contoh terbaik dalam penerapan berbagai regulasi dan standar. Keberhasilan sebuah proyek bukan hanya ditentukan oleh seberapa cepat dan murah itu dikerjakan, tetapi juga seberapa aman dan berkualitas hasil akhirnya. Jika hasil dari proyek tersebut diabaikan hanya karena alasan biaya atau kecepatan, maka dampak jangka panjangnya bisa jadi lebih merugikan, baik bagi masyarakat maupun bagi reputasi pemerintah dalam menjalankan proyek-proyek publik.