Krismawan Noor
BOGOR – Pendidikan adalah elemen krusial dalam kehidupan yang kini menjadi sorotan banyak pihak. Beragam kritik muncul mengenai efektivitas kebijakan dari otoritas pendidikan di negara ini. Fenomena ini semakin mengemuka saat pandemi, di mana cara belajar mengalami perubahan drastis.
Selama masa pandemi, banyak perubahan yang mempengaruhi proses belajar mengajar. Krismawan Noor, seorang aktivis mahasiswa, menuturkan bahwa dampak pandemi menjangkau banyak sektor, termasuk pendidikan. “Pembelajaran daring membawa peluang dan tantangan tersendiri. Di satu sisi, teknologi memberikan akses bagi pelajar dan mahasiswa; namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak wilayah di Indonesia yang kesulitan mengakses internet, bahkan listrik,” ujarnya. Ini menjadi pertanyaan besar: bagaimana solusi bagi mereka yang terpinggirkan dalam era digital?
Peran Teknologi dalam Pendidikan Daring
Dalam diskusi tentang pendidikan daring, penting untuk mengulas peran teknologi. Dengan kemajuan yang pesat, teknologi seharusnya menjadi alat yang memperkuat pembelajaran. Namun, kenyataan di lapangan mencerminkan tantangan signifikan. Krismawan mencatat bahwa pemerintah telah memberikan kuota internet bagi pelajar, tetapi pertanyaannya adalah, apakah ini cukup? “Dalam banyak kasus, akses ke internet itu sendiri masih terbatas,” tambahnya.
Pendidikan adalah hak semua individu, tetapi ketika akses terbatas, hak tersebut menjadi sebuah ilusi bagi sebagian orang. Data menunjukkan bahwa sekitar 31% desa di Indonesia masih belum memiliki akses internet yang memadai. Di saat yang bersamaan, proses belajar daring menuntut solusi yang tidak hanya bersifat sementara, tetapi berkelanjutan. Sebuah langkah konkret diperlukan agar semua lapisan masyarakat bisa merasakan manfaat pendidikan yang setara.
Strategi Meringankan Beban Biaya Pendidikan
Dalam konteks biaya pendidikan yang semakin meningkat, mahasiswa juga menghadapi tantangan yang cukup serius. Banyak yang berjuang untuk memenuhi biaya kuliah, apalagi di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi. Krismawan mengungkapkan, “Banyak mahasiswa yang terpaksa melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta pengurangan biaya kuliah. Ini menjadi gambaran nyata bagaimana tekanan ekonomi mengubah cara mereka menuntut hak.”
Fenomena ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya berjuang untuk pendidikannya sendiri, tapi juga berharap agar pemerintah lebih responsif terhadap masalah yang dihadapi. Satuan pendidikan perlu memberikan kebijakan yang lebih manusiawi, seperti pengurangan biaya kuliah bagi mahasiswa yang terdampak secara ekonomi. Ketidakadilan ini harusnya menjadi perhatian, terutama dalam keadaan darurat kesehatan seperti yang kita alami sekarang.
Melihat dari perspektif yang lebih luas, Krismawan berharap ada kejelasan dari pemerintah terkait pelaksanaan UUD 1945, yang seharusnya menjamin kesejahteraan dan pendidikan bagi seluruh rakyat. “Bagaimana mungkin kita mencerdaskan kehidupan bangsa jika biaya pendidikan semakin hari hanya memberatkan?” ujarnya. Hal ini seharusnya membuat kita semua merenung: pendidikan adalah hak, dan setiap orang berhak untuk mendapatkan akses yang adil tanpa terkendala oleh biaya yang tidak terjangkau.
Melalui dialog dan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, diharapkan ada solusi yang holistik dan efektif. Pertama, adanya program untuk membantu mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah supaya bisa menyelesaikan pendidikan mereka tanpa beban berlebih. Kedua, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pendidikan secara terus-menerus, memperhatikan masukan dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa yang menjadi subjek utama dalam lingkup pendidikan.
Penutupan singkat ini menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar akses menuntut ilmu, tetapi sumber daya yang harus dikelola dan direncanakan dengan baik. Krismawan dan banyak mahasiswa lainnya berharap bisa merasakan perubahan nyata, di mana hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dijunjung tinggi, tanpa terkendala biaya yang mencekik.